BAB 19
Aku menyusuri jalan di bawah rimbunan pepohon rendang sambil menghirup udara segar. Sekarang musim bunga sudah melanda bumi Kanada. Pemandangan di sepanjang langkahku tampak begitu indah dan mempesonakan. Apatah lagi di kiri dan kanan laluan pejalan kaki ini dihiasi dengan bunga – bunga tulip pelbagai warna. Sungguh menceriakan dan menawan pandangan.
Aku mematikan langkahku lantas melabuhkan punggung pada bangku kayu yang tersedia di situ. Kusandarkan tubuh lalu kupejamkan mata. Aku mahu menikmati sepuas - puasnya hembusan angin betul – betul menyegarkan yang turut serta menghantar bersamanya haruman wangian bunga – bungaan sekitarnya. Kubuka mataku. Lantas saja tanganku mengeluarkan buku ‘Kedudukan Seorang Ibu’, tulisan Al – Ustadzah Ummu Ishaq Al – Atsariyyah dari beg sandangku. Buku hadiah daripada seorang sahabat yang belum habis kubaca lagi. Halaman seterusnya jadi tatapan mataku lantas mulutku terus menuturkannya.
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungkannya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (Luqman: 14)
Yang Maha Suci berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15)
Dua ayat yang mulia di atas memerintahkan manusia berbakti kepada orang tua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandingkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuat baiklah kepada kedua orang tua.“ (An-Nisa`:36)
Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bahagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:
يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?”
Beliau berkata, “Ibumu.”
Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu.
“Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.”
(HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh kerana kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kepayahan kerananya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.“ (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orang tua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orang tua dengan menunjukkan kepada keduanya perkataan yang lembut, kalimat yang lunak / halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orang tuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung / dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini dengar firman-Nya:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.”
(Al-Baqarah:233
Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peranan agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ibu berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusunya apabila saja si anak memerlukannya. Tidak peduli siang ataupun malam sehingga harus menghadkan waktu istirehatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberi ibu kemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat / orang-orang yang dikasihi keduanya. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.”
(HR. Muslim no. 6461)
Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut.
“Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenapa engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
Kita telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak memerlukan perayaah Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan mengistirehatkannya dari pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya bila – bila masa saja. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justeru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orang tua’ dalam budaya mereka.
Aku menghela nafas dalam – dalam. Terasa sebak dadaku. Rasa tidak kuat untukku meneruskan pembacaan ini. Kututup buku ditanganku. Ya Allah, Engkau lindungilah diriku. Jadikanlah aku dalam kalangan anak yang solehah, anak yang taat kepada ibu bapanya. Air mataku menitis lagi.
Tatkala kakiku melangkah di muka pintu apartment ini, kedengaran deruan tangisan Atie, teman serumahku. Kiranya dia juga berduka sepertiku tika ini. Salam yang kulaungkan tidak kedengaran bersambut. Lantas saja aku melangkah mendekati bilik gadis itu. Kebetulan daun pintu biliknya sedang terkuak luas.
“Kenapa kau menangis Tie?”
Gadis itu merenungku. Terus saja dipeluknya aku.
“Aku menyesal sekarang. Aku berdosa besar. Aku terlalu menurut kata hati, Edora” rintihnya dalam esakan yang menyayat hati.
Atie terus saja menceritakannya segalanya. Aku terpegun. Kita punya sejarah silam yang serupa. Apakah aku juga akan merasai penyesalan yang tiada gunanya seperti yang Atie alami sekarang?
“Aku menyesal, benar – benar menyesal. Rasanya aku ingin mati saja sekarang” rintihnya kecewa langsung tidak bersemangat.
Sungguh penyesalannya tidak terhingga.
“Sabarlah Tie” pujukku.
Hanya itu yang mampu kuucapkan.
“Edora, kau jadikanlah ini sebagai tauladan. Janganlah kau Persia – siakan insan yang mengenalkan kita pada dunia ni” nasihatnya.
Aku tersentak. Betulkah? Ya Allah aku tidak mahu seperti Atie. Adakah ini hidayah dariMu ya Allah, yang Engkau utuskan untukku di sebalik kisah pilu sahabatku ini? Perlahan – lahan aku melangkah ke bilikku lalu merebahkan tubuhku ke tilam. Lama aku terbaring di situ tidak bergerak – gerak.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Derhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, menurut kesepakatan para ulama. Betapa banyak hadits shahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian pula berbuat durhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan derhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan derhaka kepada ayah) kerana kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah. Kerananya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga kerana kebanyakan perbuatan derhaka dari anak diterima / dirasakan oleh para ibu.” (Al Minhaj, 11/238)
[1] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.” (HR. Muslim no. 6448)
Terngiang – ngiang di telingaku tentang isi kandungan buku yang sering kubaca sejak ke belakangan ini. Aku masih belum terlambat. Aku harus laksanakannya sekarang juga.
No comments:
Post a Comment